Minggu, 09 Januari 2011 16:06:00 WIB Reporter : Oryza A. Wirawan
Warga Surabaya dan pendukung Persebaya punya cara sendiri untuk melawan. Mereka memboikot pertandingan Persebaya Divisi Utama. Tidak pernah dalam sejarah sepakbola Surabaya, saya melihat pemboikotan yang semasif ini. Terakhir, Bonek memboikot Persebaya adalah saat melakukan sepakbola gajah melawan Persipura di Tambaksari musim kompetisi perserikatan 1987/1988.
Saat itu, Stadion Gelora 10 Nopember nyaris kosong. Padahal, kala itu, sekali main di kandang, biasanya penonton bisa mencapai 40 ribu lebih dan meluber hingga sentelban.
Kejadian itu terulang lagi. Persebaya Divisi Utama kesulitan mengumpulkan penonton dalam jumlah besar. Jangankan 20 ribu orang, menembus 10 ribu saja sulitnya minta ampun. Bahkan, penonton yang datang pernah hanya sekitar dua ribu orang. Padahal, panitia pelaksana sudah menurunkan harga tiket.
Sebaliknya, Persebaya yang bertanding di Liga Primer justru mampu membetot penonton lebih banyak. Bermain di laga amal 10 November 2010, saat hari kerja (Rabu malam), dengan harga tiket lebih mahal daripada harga tiket Persebaya Divisi Utama, penonton berjejal. Saat itu panitia pelaksana meraup keuntungan sekitar Rp 300 juta.
Jika sebuah pertandingan sepakbola adalah sebuah referendum terhadap sebuah pilihan, maka jumlah penonton Persebaya Divisi Utama dan Persebaya Liga Primer sudah menunjukkan mana yang lebih diakui dan dicintai. Persebaya Divisi Utama bisa memenangkan hati Kapolda Jatim, namun tak pernah bisa memenangkan hati pendukung Persebaya.
Di luar intervensi PSSI dan desakan Kapolda Jatim agar Persebaya LPI berganti nama, ada desakan lain pula untuk berganti nama. Nama Persebaya dinilai kurang komersial di era sepakbola profesional dan kapitalistis. Secara umum, nama-nama klub di Indonesia (bekas perserikatan) memang cenderung monoton karena diawali dengan perse (persatuan sepakbola) atau persi (persatuan sepakbola Indonesia).
Ada banyak usulan nama baru yang cukup keren dan berbau 'English', seperti Surabaya Football Club, Surabaya United Football Club, atau nama lainnya. Pergantian nama ini diperkirakan akan lebih membuat Persebaya 'menjual' di mata sponsor.
Tapi benarkah dengan berganti nama, Persebaya akan lebih komersial? Ini yang kemudian bisa diperdebatkan. Nama sebuah merek (brand) dalam bisnis sepakbola terbentuk karena perjalanan panjang dan prestasi. Nama Persebaya, tanpa harus diubah sekalipun, masih menjadi jaminan mutu dalam sepakbola nasional kita.
Saya meyakini, stasiun televisi memberikan jatah siaran langsung kandang terbanyak dalam Liga Super musim 2009/2010 kepada Persebaya bukanlah tanpa alasan ekonomis. Jika alasan teknis yang digunakan, stadion di Bandung dan Jakarta cukup representatif untuk siaran sepakbola. Namun Persebaya justru mendapat jatah lebih banyak, walaupun klub ini baru promosi dari Divisi Utama. Dan memang benar, siaran langsung laga Persebaya versus Persib musim lalu mencapai angka share 20.
Menjualnya nama itukah berada di balik politik belah bambu yang memecah-belah Persebaya? Bisa jadi. Yang terang, diakui atau tidak, Persebaya adalah salah satu klub di Indonesia yang memiliki jumlah penggemar yang besar.
Llano Mahardika, yang saat ini menangani bisnis Persebaya untuk Liga Primer Indonesia, juga enggan ganti nama karena menyangkut 'imagined community'. Dalam laman Facebooknya, ia menulis: "Kalo ganti/nambah nama, mending bikin klub baru aja, ngapain konsorsium capek-capek berurusan membantu Saleh, Cholid dan pengurus-pengurus persebaya? Karena Persebaya itu sebuah kebanggaan entitas yang besar...Kalo masih ada yg usul nerimo perlakuan kayak gitu..berarti mana integritasnya..."
Bagaimana menyelesaikan sengketa ini? Kekhawatiran Kapolda bahwa dualisme Persebaya ini bakal memunculkan konflik horisontal sejauh ini tak menemui kenyataan. Maka, alangkah baiknya jika kepolisian memberikan ijin penyelenggaraan kepada Persebaya di Liga Primer Indonesia tanpa mengubah nama. Biarkanlah rakyat Surabaya memilih, mana Persebaya yang akan didukung. Dalam terma kapitalisme: biarkan pasar yang menentukan pilihan.
Menghalangi Persebaya memakai namanya di Liga Primer justru dikhawatirkan memunculkan kerawanan. Saat ini, di laman-laman grup Facebook milik Bonek sudah muncul seruan agar melakukan aksi unjukrasa di markas Polda karena persoalan nama tersebut. Kita tentu tak ingin ini terjadi, mengingat situasi selama ini sudah kondusif. Jangan sampai urusan nama ini membenturkan warga dengan kepolisian.
Penyelesaian lain tentu saja di jalur pengadilan. Dua kubu yang sama-sama mengklaim nama Persebaya harus bertarung di hadapan hakim. Biarkanlah hakim yang menentukan. Ini alternatif sulit tapi terpaksa dilakukan. Selama proses hukum itu, nama Persebaya boleh digunakan oleh dua kubu.
Yang terang, hari ini, dengan teori Imagined Community, publik tahu: Persebaya mana yang berhasil mengikat warga Surabaya dan pendukungnya dalam ikatan imajinatif. "Persebaya yang ada Mat Halil, Andik Vermansyah, Endra Pras, pelatihnya Aji Santoso, pemain asingnya John Tarkpor, dan tukang pijatnya Mat Drai..." demikian tulis salah satu penggemar Persebaya di sebuah laman Facebook. Identitas, memang tak akan tergantikan. [air/wir]
Saat itu, Stadion Gelora 10 Nopember nyaris kosong. Padahal, kala itu, sekali main di kandang, biasanya penonton bisa mencapai 40 ribu lebih dan meluber hingga sentelban.
Kejadian itu terulang lagi. Persebaya Divisi Utama kesulitan mengumpulkan penonton dalam jumlah besar. Jangankan 20 ribu orang, menembus 10 ribu saja sulitnya minta ampun. Bahkan, penonton yang datang pernah hanya sekitar dua ribu orang. Padahal, panitia pelaksana sudah menurunkan harga tiket.
Sebaliknya, Persebaya yang bertanding di Liga Primer justru mampu membetot penonton lebih banyak. Bermain di laga amal 10 November 2010, saat hari kerja (Rabu malam), dengan harga tiket lebih mahal daripada harga tiket Persebaya Divisi Utama, penonton berjejal. Saat itu panitia pelaksana meraup keuntungan sekitar Rp 300 juta.
Jika sebuah pertandingan sepakbola adalah sebuah referendum terhadap sebuah pilihan, maka jumlah penonton Persebaya Divisi Utama dan Persebaya Liga Primer sudah menunjukkan mana yang lebih diakui dan dicintai. Persebaya Divisi Utama bisa memenangkan hati Kapolda Jatim, namun tak pernah bisa memenangkan hati pendukung Persebaya.
Di luar intervensi PSSI dan desakan Kapolda Jatim agar Persebaya LPI berganti nama, ada desakan lain pula untuk berganti nama. Nama Persebaya dinilai kurang komersial di era sepakbola profesional dan kapitalistis. Secara umum, nama-nama klub di Indonesia (bekas perserikatan) memang cenderung monoton karena diawali dengan perse (persatuan sepakbola) atau persi (persatuan sepakbola Indonesia).
Ada banyak usulan nama baru yang cukup keren dan berbau 'English', seperti Surabaya Football Club, Surabaya United Football Club, atau nama lainnya. Pergantian nama ini diperkirakan akan lebih membuat Persebaya 'menjual' di mata sponsor.
Tapi benarkah dengan berganti nama, Persebaya akan lebih komersial? Ini yang kemudian bisa diperdebatkan. Nama sebuah merek (brand) dalam bisnis sepakbola terbentuk karena perjalanan panjang dan prestasi. Nama Persebaya, tanpa harus diubah sekalipun, masih menjadi jaminan mutu dalam sepakbola nasional kita.
Saya meyakini, stasiun televisi memberikan jatah siaran langsung kandang terbanyak dalam Liga Super musim 2009/2010 kepada Persebaya bukanlah tanpa alasan ekonomis. Jika alasan teknis yang digunakan, stadion di Bandung dan Jakarta cukup representatif untuk siaran sepakbola. Namun Persebaya justru mendapat jatah lebih banyak, walaupun klub ini baru promosi dari Divisi Utama. Dan memang benar, siaran langsung laga Persebaya versus Persib musim lalu mencapai angka share 20.
Menjualnya nama itukah berada di balik politik belah bambu yang memecah-belah Persebaya? Bisa jadi. Yang terang, diakui atau tidak, Persebaya adalah salah satu klub di Indonesia yang memiliki jumlah penggemar yang besar.
Llano Mahardika, yang saat ini menangani bisnis Persebaya untuk Liga Primer Indonesia, juga enggan ganti nama karena menyangkut 'imagined community'. Dalam laman Facebooknya, ia menulis: "Kalo ganti/nambah nama, mending bikin klub baru aja, ngapain konsorsium capek-capek berurusan membantu Saleh, Cholid dan pengurus-pengurus persebaya? Karena Persebaya itu sebuah kebanggaan entitas yang besar...Kalo masih ada yg usul nerimo perlakuan kayak gitu..berarti mana integritasnya..."
Bagaimana menyelesaikan sengketa ini? Kekhawatiran Kapolda bahwa dualisme Persebaya ini bakal memunculkan konflik horisontal sejauh ini tak menemui kenyataan. Maka, alangkah baiknya jika kepolisian memberikan ijin penyelenggaraan kepada Persebaya di Liga Primer Indonesia tanpa mengubah nama. Biarkanlah rakyat Surabaya memilih, mana Persebaya yang akan didukung. Dalam terma kapitalisme: biarkan pasar yang menentukan pilihan.
Menghalangi Persebaya memakai namanya di Liga Primer justru dikhawatirkan memunculkan kerawanan. Saat ini, di laman-laman grup Facebook milik Bonek sudah muncul seruan agar melakukan aksi unjukrasa di markas Polda karena persoalan nama tersebut. Kita tentu tak ingin ini terjadi, mengingat situasi selama ini sudah kondusif. Jangan sampai urusan nama ini membenturkan warga dengan kepolisian.
Penyelesaian lain tentu saja di jalur pengadilan. Dua kubu yang sama-sama mengklaim nama Persebaya harus bertarung di hadapan hakim. Biarkanlah hakim yang menentukan. Ini alternatif sulit tapi terpaksa dilakukan. Selama proses hukum itu, nama Persebaya boleh digunakan oleh dua kubu.
Yang terang, hari ini, dengan teori Imagined Community, publik tahu: Persebaya mana yang berhasil mengikat warga Surabaya dan pendukungnya dalam ikatan imajinatif. "Persebaya yang ada Mat Halil, Andik Vermansyah, Endra Pras, pelatihnya Aji Santoso, pemain asingnya John Tarkpor, dan tukang pijatnya Mat Drai..." demikian tulis salah satu penggemar Persebaya di sebuah laman Facebook. Identitas, memang tak akan tergantikan. [air/wir]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar