Minggu, 09 Januari 2011

Persebaya Simbol Perlawanan Rezim Nurdin Halid



 
Minggu, 09 Januari 2011 15:49:51 WIB Reporter : Oryza A. Wirawan

Menilik sejarahnya, pergantian nama Persebaya bukanlah barang haram. Namun, harus diingat pula, pemberian nama tertentu terhadap klub ini mengandung makna historis fase perjuangan bangsa, dan bukan asal mengubah nama.

Awal berdiri, Persebaya memakai nama berbahasa Belanda, yakni Soerabaia Indonesische Voetbal Bond. Penggunaan nama Indonesische atau Indonesia ini bukan asal tempel, karena untuk menunjukkan identitas pembeda dan perlawanan dengan klub lain bikinan Belanda, Soerabaia Voetbal Bond.

Nama ini kemudian 'dinasionalisasi' menjadi Persatoean Sepakbola Indonesia Soerabaja (Persibaja). Sekali lagi, penggunaan nama Indonesia dilekatkan sebagai identitas bangsa dan negara yang masih muda dan baru merdeka. Tahun 1960, nama Persibaja diubah menjadi Persebaya. 'Indonesia' dihilangkan, karena ada penilaian Indonesia sudah merdeka, sehingga Persebaya tak perlu melakukan pembedaan dengan klub lain. Nama Persebaya bertahan hingga saat ini.

Dari sini jelas, mengubah nama Persebaya (sekali lagi) saat memasuki Liga Primer Indonesia tentu tidaklah haram. Namun, untuk kali ini, nama dan perubahannya bukanlah hal sederhana. Pengurus dan pendukung Persebaya LPI menolak mengubah nama, karena mengubah nama berarti mengakui kebenaran langkah PSSI dan menyatakan kalah terhadap intervensi dari kepengurusan Nurdin Halid.

Jika saja perubahan nama ini dilakukan di tengah suasana klub yang kondusif dan tanpa ada dualisme, mungkin prosesnya tidak akan sealot sekarang. Mungkin ada ketidaksetujuan, namun tak akan ada perlawanan keras. Boleh jadi dalam suasana damai, Persebaya bisa saja memodifikasi nama menjadi Persebaya United, Persebaya FC, atau bahkan mungkin Surabaya FC.

Saat ini bagi pengurus Persebaya dan Bonek, mempertahankan nama Persebaya adalah bagian dari ikhtiar perlawanan terhadap kezaliman PSSI. Sebagaimana teori Anderson, Persebaya mendadak menjadi pengikat sebuah komunitas yang terbayangkan dalam sebuah perjuangan reformasi sepakbola Indonesia.

Diakui atau tidak, keputusan Persebaya melawan dan mundur dari Divisi Utama, jauh-jauh hari sebelum Liga Primer Indonesia bisa dipastikan digelar, adalah sebentuk keberanian luar biasa. Padahal, bagi Persebaya, tak sulit tentunya untuk kembali ke Liga Super pada musim berikutnya.

Jika saja LPI berhasil diganjal dan Persebaya urung bermain di Divisi Utama, maka bisa dipastikan klub ini akan terdegradasi ke Divisi I. Namun dalam sejarahnya di masa perang kemerdekaan, rakyat kota ini memang tak pernah mengenal 'berkaki dua' atau bersikap abu-abu dalam melawan.

Surabaya tak tertaklukkan. Justru akhirnya PSSI yang keder, dan melakukan politik belah bambu: membuat Persebaya terpecah dua. Persebaya versi Wisnu Wardhana yang direstui PSSI memilih tetap bermain di Divisi Utama. Para pemain dan pelatih pun dicabut dari Persatuan Sepakbola Indonesia Kutai Barat (Persikubar).

Divisi Utama musim ini baru digelar setelah beberapa kali mundur dari jadwal, setelah Persebaya Wisnu Wardhana ini dipastikan mengikuti kompetisi. Tentunya dengan mengorbankan Persikubar yang kehilangan sebagian besar anggota skuadnya untuk mengikuti Divisi Utama.

Belakangan Persebaya beraroma Persikubar ini yang lebih diakui oleh Polda Jatim, entah apa alasannya. Persebaya versi Wisnu Wardhana ini bisa melenggang menyelenggarakan pertandingan dengan menggunakan nama Persebaya. Sementara, Persebaya yang menyeberang ke Liga Primer Indonesia justru dipaksa berganti nama. Dalam pertandingan amal melawan Indo Holland, Persebaya terpaksa berganti nama menjadi Surabaya FC.

Kapolda khawatir, jika ada dua nama Persebaya yang diberi izin, bisa mengancam keamanan. Namun, fakta bicara, terpecahnya Persebaya tidak memunculkan benturan fisik di akar rumput. Tidak ada benturan keras sesama Bonek sebagaimana dikhawatirkan. [air/wir/bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar