Selasa, 16 November 2010

Liem Tiong Hoo Bintang Persebaya 1950-an



Oleh LAMBERTUS HUREK

Di usia 83 tahun, Liem Tiong Hoo, yang lebih dikenal sebagai Dokter Hendro Hoediono, masih tetap praktik sebagai spesialis penyakit kulit dan kelamin. Tubuhnya masih tegap, ingatan tajam, dan punya selera humor tinggi. Liem masih ingat persis kejadian-kejadian lucu yang pernah dialaminya di lapangan hijau 70-an tahun silam.


“Gigi saya ini palsu karena yang asli sudah patah saat main sepak bola. Main sepak bola, ya, risikonya begitu. Kalau nggak mau, ya, silakan main pingpong atau badminton,” ujar Liem Tiong Hoo yang ditemui Radar Surabaya di kamar praktiknya di Surabaya, Kamis (4/1/2010) siang.

Penggemar sepak bola zaman sekarang mungkin tidak mengenal Liem Tiong Hoo alias Hendro Hoediono. Tapi cobalah bertanya kepada oma-opa yang pernah menikmati geliat Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya), bond atawa perserikatan bola kebanggaan arek-arek Suroboyo, pada era 1940-an dan 1950-an.
Nama Liem Tiong Hoo, pemain klub Tionghoa (kemudian berganti nama menjadi Naga Kuning dan Suryanaga, Red), sangat terkenal pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Liem benar-benar menjadi idola masyarakat pada masanya. Dia bersama para pemain lain dari sejumlah klub di Surabaya berjasa melambungkan nama Persebaya di pentas bola nasional.

“Zaman saya dulu Persebaya hampir selalu menang, jarang kalah. Dan nggak pernah ada kerusuhan,” tegasnya. Berikut petikan wawancara khusus dengan Liem Tiong Hoo.

Posisi Anda dulu waktu main sepak bola sebagai apa?

Penyerang tengah, striker. Saya suka menyerang dan menyerang. Main sepak bola kalau nggak bisa menyerang, bagaimana bisa menang? Saya suka sekali dengan attacking football, sepak bola menyerang. Orang bisnis atau dagang, ya, harus menyerang, agresif, agar perusahaannya bisa maju dan berkembang.

Sejak kapan Anda mulai mengenal sepak bola?

Waktu masih anak-anak saya sudah sangat suka main sepak bola. Pulang sekolah, mainnya ya ke lapangan. Kebetulan dulu klub sepak bola Tionghoa punya lapangan di Cannalaan, yang sekarang jadi Taman Remaja itu. Saya dan teman-teman datang bermain, lihat pemain-pemain Klub Tionghoa melakukan latihan.

Nah, kadang-kadang pemain Tionghoa itu kurang. Saya yang masih sangat muda, anak-anak, masuk untuk menggenapi. Begitu seterusnya, sehingga saya jadi tahu bagaimana bermain sepak bola yang baik dan benar. Otomatis saya diajak bergabung dengan klub Tionghoa.

Main bola tidak mengganggu sekolah Anda?

Tidak. Sekolah tetap sekolah, main bolanya jalan terus. Orang kalau sudah cinta sepak bola itu nggak bisa lepas. Selalu ingin main bola tiap hari. Syukurlah, pelajaran saya di sekolah baik-baik saja.

Kapan Anda mulai bermain untuk klub Tionghoa?

Tahun 1934-1944. Dulu di Surabaya ini ada Persebaya dan SVB atau Soerabaiasche Voetbal Bond. SVB ini diikuti klub-klub seperti Tionghoa, HBS (Houd Braef Standt), Exelcior, THOR (Tot Heil Onzer Ribben), Gie Hoo, Annasher. (Liem kemudian mengajak Radar Surabaya melihat fotonya semasa jadi pemain sepak bola semasa remaja).

Itu merupakan kenangan yang tak akan pernah saya lupakan. Ketika saya masih berjaya sebagai pemain sepak bola dan bisa mencetak banyak gol di gawang lawan. Nama saya akhirnya dikenal orang di mana-mana.

Lantas, Anda dipanggil memperkuat Persebaya?

Betul. Persebaya dulu itu beda dengan yang sekarang ini. Persebaya itu bukan klub yang membeli pemain-pemain dari luar, tapi mengambil pemain dari klub-klub yang ada di seluruh Kota Surabaya. Pemain yang bagus-bagus dari beberapa klub itu diambil untuk memperkuat Persebaya.

Tahun 1943 saya menjadi pemain termuda di Persebaya. Umur saya 17 tahun. Setelah itu saya menjadi langganan di Persebaya. Ikut kejuaraan dan turnamen di berbagai kota seperti Jakarta, Semarang, Bandung.

Latihan di Persebaya lama?

Nggak perlu latihan lama-lama karena semua pemain sudah saling kenal. Kita itu, biarpun klubnya berbeda-beda, sudah hafal kemauannya teman di lapangan. Begitu digabungkan di Persebaya, ya, jalan dengan sendirinya. Saya bikin gerakan sedikit saja, teman saya sudah tahu apa kemauan saya. Dan itu membuat Persebaya sangat disegani di Indonesia.

Bayangkan, kami waktu itu juara tiga tahun berturut-turut dalam empat macam kejuaraan. Ini membuat bond-bond kota yang lain segan sama Persebaya. Wong kami menang terus, sulit dikalahkan!

Suatu ketika ada turnamen di Kediri. Saya kebetulan nggak ikut ke sana. Pertandingan hari pertama Persebaya kalah. Ini membuat pengurus nyusul saya di Surabaya. Pokoknya, Persebaya jangan mau kalah lagi. Akhirnya, hari kedua saya ikut main.

Persebaya menang?

Jelas menang! Kan sudah ada saya. Hehehe....

Selain Anda, siapa saja bintang Persebaya pada era 1940-an dan 1950-an?

Dulu, Persebaya punya trio belakang dan trio depan yang disegani lawan-lawannya. Trio belakang: Sidi, Sidik, Sadran. Trio depan: saya (Liem Tiong Hoo), Bhe Ing Hien, Tee San Liong. Kalau ada tiga teman di belakang ini, saya tidak khawatir pasokan bola dan pertahanan akan bagus. Itu yang membuat Persebaya sangat kuat.

Anda kemudian kuliah dan sukses sebagaidokter spesialis. Bagaimana nasib pemain-pemain lama seangkatan Anda yang pernah mengharumkan nama Kota Surabaya?

Ngenes. Nasib pemain-pemain Persebaya yang lama ini kayak sepatu. Habis dipakai, dibuang begitu saja. Sadran, teman akrab saya, pemain top itu, meninggal dunia dalam kondisi memprihatinkan. Terlunta-lunta. Teman-teman satu angkatan sudah meninggal semua, tinggal saya satu-satunya yang masih diberi hidup oleh Tuhan.

Anda sendiri masih diundang pengurus Persebaya atau Suryanaga?

Nggak pernah. Kami ini sudah dilupakan orang, termasuk pengurus-pengurus Persebaya. Saya ini nggak dikasih freepass untuk melihat pertandingan Persebaya. Bagaimana mereka menghargai mantan-mantan pemain yang pernah berjasa untuk klub? Bahkan, waktu perayaan 100 tahun kemarin (POR Tionghoa alias Suryanaga, Red), saya juga tidak diundang.

Anda kecewa?

Sudahlah. Saya tidak pernah kecewa karena bagaimanapun juga saya pernah memperkuat Persebaya dan menikmati masa-masa indah bersama Persebaya. Apalagi, saya juga harus bersekolah untuk masa depan saya setelah tidak lagi menjadi pemain. Saking cintanya sama Persebaya, dulu sekolah saya di Kedokteran sempat terganggu tiga tahun.

Baru tahun 2004 saya dapat penghargaan dari Wali Kota Bambang DH yang juga ketua Persebaya. Syukurlah, Bambang DH masih sempat ingat saya.

Apa resep umur panjang dan tetap segar di masa lansia?

Orang yang aktif berolahraga itu seperti menabung. Menabung untuk kesehatan dan kekuatan di hari tua. Karena saya ‘menabung’ sejak anak-anak, maka saya masih bisa bekerja sampai sekarang. Umur saya mau 84 tahun lho. Selain olahraga, jangan lupa hidup teratur. Makan teratur, istirahat teratur, kerja teratur, rekreasi. Orang yang minum multivitamin sau botol tiap hari nggak akan bisa menggantikan kekuatan seperti ‘tabungan’ ketika masih muda. (*)





Tolak Tawaran Tim Nasional

Meski sangat gandrung sepak bola, Liem Tiong Hoo tidak mengabaikan pendidikan. Sekolah bisa jalan seiring dengan bola. Paginya menuntut ilmu di sekolah, sorenya main bola, malam belajar dan menggarap pekerjaan rumah. Ini dilakukan Liem sejak anak-anak hingga kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga.


Menjelang ujian di FK Unair, Persebaya harus mengikuti kejuaraan bergengsi di tanah air. Dan, sebagai ujung tombak alias striker, posisi Liem belum tergantikan masa itu. Liem sendiri, yang sedang hebat-hebatnya sebagai pemain bola, pun tak ingin melepaskan begitu saja momentum itu.

Maka, dia pun menyiasati ujian Kedokteran. "Kuliah zaman dulu masih gampang dan agak longgar. Ujian diadakan tiga kali dalam setahun. Nah, kita bisa milih kapan ikut ujian," tutur Liem Tiong Hoo kepada Radar Surabaya.

Gara-gara sepak bola, ujian Liem di FK harus tertunda tiga kali. Dus, masa kuliahnya molor tiga tahun pula. Syukurlah, Liem kemudian bisa ikut ujian dan lulus. Bintang lapangan hijau itu pun mampu bermetamorfosis sebagai dokter. Liem kemudian menjadi dosen di FK Unair sambil tetap tidak melupakan sepak bola.

Suatu ketika tim nasional Republik Tiongkok Nasionalis berkunjung ke Surabaya. Liem tentu saja memperkuat Persebaya untuk menghadapi kesebelasan yang saat itu sangat disegani di Asia Timur Jauh (Far-East Asia). Melihat kelincahan Liem mengolah si kulit bundar dan mengecoh lawan-lawannya, Liem diajak memperkuat tim nasional Tiongkok.

"Saya menolak karena saya orang Indonesia. Saya bukan orang Tiongkok," tegas Liem Tiong Hoo.

Bukan itu saja. Liem juga dirayu agar bergabung dengan klub Feyenoord di Negeri Belanda. Biaya kuliah, biaya hidup, dan sebagainya ditanggung pihak Belanda asalkan bintang muda Persebaya asal Klub Tionghoa itu mau diboyong ke negara kincir angin. "Saya bilang tidak. Saya bukan orang Belanda. Saya orang Indonesia," kenang ayah tiga anak dan kakek enam cucu ini.

Menjelang Olimpiade 1952, diadakan seleksi pemain untuk membentuk tim nasional Indonesia. Liem tidak bisa berlatih intensif karena beban studi di FK Unair sangat tinggi. Namun, pelatih dan pengurus PSSI ingin agar Liem masuk tim nasional meskipun tidak ikut seleksi dan latihan. Liem kontan menolak.

"Saya bilang, saya nggak ikut latihan kok masuk tim?" tukasnya.

Tim seleksi tetap meyakinkan bahwa kemampuan Liem Tiong Hoo masih selevel dengan pemain-pemain nasional lain meskipun tidak berlatih. Liem rupanya tak bisa dirayu. "Saya harus konsekuen. Kalau nggak ikut latihan, ya, tidak boleh ikut gabung. Itu sudah jadi prinsip saya," tegasnya. (rek)




BIODATA

Nama : Liem Tiong Hoo
Nama populer : dr. Hendro Hoediono
Lahir : Surabaya, 23 Oktober 1926
Istri : Listiyani (almarhumah)
Keturunan : 3 anak, 6 cucu
Profesi : Dokter spesialis kulit dan kelamin
Hobi : Memancing
Idola : Lee Waitong, Raja Bola Timur Jauh (Tiongkok) era 1930-an.

Pendidikan :
- Algemeene Middelbare School (AMS), Jl Kusuma Bangsa Surabaya
- Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

Penghargaan:
- Ketua Umum Persebaya Bambang DH, 18 Juni 2004, sebagai legenda Persebaya.
- Presiden Soeharto sebagai dosen FK Unair yang berdedikasi.




Tionghoa, Bola, dan Rasialisme

Sebelum 1960-an, begitu banyak remaja Tionghoa di Surabaya--juga kota-kota besar lain di tanah air--yang menekuni sepak bola. Bahkan, klub-klub besar seperti Persebaya diperkuat oleh begitu banyak pemain keturunan Tionghoa.


Tim Persebaya yang menjadi juara nasional pada 1952, misalnya, didominasi pemain-pemain Tionghoa macam Phoa Sian Long, Liem Tjay Hie, Kho Thiam Gwan, Liem Tiong Hoo, Bhe Ing Hien, Tee San Liong. "Itu tim Persebaya terakhir yang saya ikuti. Dan kami jadi juara nasional. Tujuh pemain berasal dari PS Tionghoa," ujar Liem Tiong Hoo alias dr Hendro Hoediono.

Lantas, mengapa dalam beberapa dekade belakangan ini anak-anak muda Tionghoa 'meninggalkan' sepak bola? Tak ada lagi pemain-pemain Tionghoa di klub lokal, regional, atau nasional? Mendengar pertanyaan Radar Surabaya, Liem Tiong Hoo terdiam sejenak.

Menurut dia, situasi ini tak lepas kondisi sosial politik di Indonesia pada tahun 1960-an yang tidak kondusif. Sentimen rasial terhadap warga keturunan Tionghoa muncul di mana-mana. Ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 yang berimplikasi luas pada warga Tionghoa di tanah air. Singkatnya, siatuasi politik masa itu membuat orang-orang Tionghoa meninggalkan lapangan sepak bola dan gantung sepatu.

Sebagai olahraga rakyat yang sangat populer, disaksikan ribuan orang, potensi kerusuhan di sepak bola sangat besar. Apalagi dibumbui sentimen suku, ras, agama, antargolongan (SARA). "Bukannya takut, tapi kita lebih baik tidak ambil risiko. Kita khawatir benturan antarpemain di lapangan dibawa ke luar. Siapa yang bisa mengontrol sekian ribu manusia setelah keluar dari stadion?" tandas Liem.

Karena itu, perlahan tapi pasti, para remaja Tionghoa benar-benar meninggalkan olahraga paling atraktif ini. Liem sendiri fokus bekerja sebagai dokter dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Pemain-pemain Tionghoa lainnya bekerja sebagai pedagang atau meneruskan sekolah yang sempat terganggu gara-gara bola. Banyak pula klub Tionghoa di berbagai kota terpaksa bubar.

Lapangan bola milik Tionghoa di kawasan Kusuma Bangsa pun beralih fungsi menjadi arena hiburan rakyat. Klub Tionghoa kemudian ganti nama menjadi Naga Kuning, kemudian Suryanaga, dan bertahan sampai sekarang. Tapi pemain-pemainnya bukan lagi anak-anak muda keturunan Tionghoa. Orang Tionghoa sebatas menjadi pengurus, manajer, investor, atau pencari modal.

Akankah anak-anak muda Tionghoa kembali bermain sepak bola dan mengharumkan nama Persebaya atau Indonesia seperti era 1950-an? Liem Tiong Hoo mengaku sangat yakin suatu ketika orang-orang Tionghoa kembali bermain bola.

"Sepak bola itu permainan paling menarik. Olahraga yang bisa dimainkan siapa saja, tidak pandang suku, agama, ras,warna kulit, kebangsaan," tegasnya. (rek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar