Rabu, 11 April 2012

Persebaya, Kekalahan WO, dan Ketakberdayaan PSSI



 
Rabu, 11 April 2012 09:02:22 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan


Jember (beritajatim.com) - Kegagalan Persebaya Surabaya menggelar laga kandang menghadapi PSMS Medan di Gelora Bung Tomo, Minggu (8/4/2012) cukup mengejutkan. Selama Indonesian Premier League, kompetisi kasta tertinggi resmi PSSI, digelar, Persebaya tak pernah kesulitan melangsungkan laga kandang.

Rekam jejak Persebaya dalam melangsungkan pertandingan kandang selama ini cukup baik. Tidak pernah ada kerusuhan besar di stadion, bahkan saat Persebaya mengalami kekalahan dua kali. Kerusuhan terbesar di stadion Gelora 10 Nopember terjadi enam tahun silam, 4 September 2006, saat Persebaya ditahan imbang Arema Malang.

Laga terakhir dalam IPL melawan Arema Malang di Gelora Bung Tomo beberapa waktu silam yang dikhawatirkan ricuh justru berjalan lancar. Sebanyak 50 ribu Bonek memadati stadion terbesar di Jawa Timur tersebut, dan tidak ada teror terhadap pemain Arema sebagaimana terjadi tahun 2010 silam.

Tak heran, jika kemudian pelarangan laga Persebaya versus PSMS oleh aparat kepolisian mengundang pertanyaan. Aparat kepolisian menyatakan, larangan itu terkait antisipasi kerawanan, karena di Surabaya masih dikhawatirkan terjadi aksi demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

Alasan ini yang kemudian memantik pertanyaan besar. Jika pertandingan tersebut digelar sebelum 1 April 2012, saat aksi-aksi unjuk rasa menguat di mana-mana, termasuk di Surabaya, maka dalil dan dalih aparat kepolisian sangat masuk akal dan bisa diterima. Namun laga Persebaya melawan PSMS digelar sepekan lebih setelah aksi unjuk rasa marak. Aksi unjuk rasa sudah surut di mana-mana, terutama karena akhirnya harga BBM urung dinaikkan.

Alasan itu semakin memicu rasa penasaran, karena polisi di Surabaya seolah menerapkan standar ganda. Di satu sisi pertandingan Persebaya yang mengundang massa besar dilarang, sementara acara konser musik diijinkan. Saya tidak tahu, mengapa kerumunan massa dalam sebuah konser musik dianggap tidak lebih berpotensi kerawanan daripada kerumunan penonton sepakbola. Padahal, sudah cukup banyak media massa menyiarkan besar-besaran kerusuhan penonton yang terjadi dalam konser musik.

Dalam kapasitas institusi kepolisian yang lebih luas, standar ganda pengamanan dan pemberian ijin keramaian itu lebih terasa, karena ternyata di beberapa kota pertandingan sepakbola bisa digelar. Saya tidak tahu, apakah tingkat kerawanan tidak masuk hitungan juga dalam pemberian ijin itu. Namun bila menengok ke belakang, aparat kepolisian Indonesia sebetulnya tidak konsisten betul dalam menerapkan standar perijinan itu.

Kita ingat bagaimana dalam laga Liga Super Indonesia beberapa waktu lalu di Jogjakarta, antara Persija melawan Persiwa Wamena, terjadi kerusuhan di stadion. Namun dalam laga berikutnya, Persija melawan Persipura, polisi masih memberikan ijin pertandingan. Lagi-lagi kerusuhan terjadi. Dua kali kerusuhan di Jogjakarta, dan semuanya tidak melibatkan Bonek.

Dengan standar ganda seperti itu, tak salah kiranya, jika kemudian orang berprasangka: polisi hanya mencari jalan aman untuk mengamankan pertandingan. Jalan aman yang dimaksud untuk mengamankan adalah dengan tidak menyelenggarakan pertandingan.

Saya berharap prasangka ini salah. Namun jika memang demikian, maka profesionalisme aparat kepolisian patut dipertanyakan dan digarisbawahi. Saya tak bisa membayangkan, polisi yang diberikan kewenangan melakukan represi secara proporsional dan benar ternyata gentar menghadapi penonton sepakbola Surabaya, yang justru selama bertahun-tahun tak pernah lagi melakukan kerusuhan di stadion.

Jika yang ditakutkan aparat kepolisian adalah ekses kerusuhan di luar stadion, tentu ini patut dipertanyakan ulang. Tidak pernah ada catatan dan cerita pertandingan sepakbola di mana pun di negeri ini, 50 ribu penonton yang datang ke stadion bersama-sama secara gotong-royong melakukan kerusuhan dan kejahatan di luar stadion.

Lagipula, di negeri ini, hukum mengadili seseorang karena perbuatan kejahatan yang jelas-jelas sudah dilakukannya secara personal. Hukum tidak mengadili secara keseluruhan (komunal) karena perbuatan yang dikhawatirkan bakal dilakukan atau dibayangkan hendak dilakukan oleh individu dari komunitas tersebut.

Jujur saja, jika kekhawatiran dan bayang-bayang ketakutan dijadikan referensi, saya kira yang patut mengangkat bendera putih dan melarang pertandingan sepakbola adalah aparat kepolisian di Argentina, Italia, negeri-negeri Eropa Timur, atau Inggris di masa lalu. Di sana, terutama di Argentina, kerusuhan antarsuporter bahkan bisa diwarnai letusan pistol: mereka saling menembaki suporter lawan.

Di lain pihak, kegagalan laga Persebaya melawan PSMS Medan menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar PSSI, PT Liga Prima Indonesia Sportindo, dan panitia pelaksana Persebaya di hadapan aparat kepolisian.

Selama ini, tidak pernah terdengar ada kerusuhan penonton saat digelarnya laga Liga Prima Indonesia. Kerusuhan penonton justru terjadi beberapa kali dalam Liga Super Indonesia, yang terparah terjadi dua kali di Jogjakarta. Namun laga Liga Super, yang jelas-jelas berstatus breakaway league dan tak diakui, relatif tidak mendapat kesulitan perijinan. Laga di Liga Prima justru beberapa kali nyaris gagal karena perijinan.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana laga Persija melawan Persebaya di Bantul nyaris gagal dilaksanakan karena perijinan aparat kepolisian. Pertandingan digelar dengan disaksikan ribuan Bonek. Jumlah Bonek ini jauh lebih besar daripada suporter The Jak yang datang ke Jogjakarta untuk menyaksikan dua laga Persija. Namun tak seperti dua laga Persija, laga Persebaya di Bantul ini justru aman-aman saja.

Kita bandingkan pula saat PT LPIS menggelar Liga Primer Indonesia yang tahun 2011 lalu berstatus breakaway atau tak diakui PSSI. Kala itu tak ada hambatan perijinan dari aparat kepolisian. Satu-satunya hambatan perijinan adalah saat Persebaya hendak dijamu Solo FC di Solo.

Jadi mungkin benar apa pendapat Andhi Mahligai, salah satu pentolan Bonek di Jakarta. PSSI dan PT LPIS harus segera kembali melakukan komunikasi dengan institusi kepolisian. Larangan digelarnya sebuah pertandingan sepakbola liga resmi adalah tamparan keras. PSSI perlu kembali memperkuat nota kesepahaman dengan aparat kepolisian.

Ini juga menjadi pelajaran bagi panpel Persebaya. Jika jauh-jauh hari sudah tercium ada gelagat tak beres, seharusnya sudah ada rencana lain yang disiapkan. Kita tahu tawaran menggelar pertandingan Persebaya melawan PSMS tanpa penonton sebagai solusi muncul dan disosialisasikan mendadak. Di sini, panpel Persebaya perlu belajar banyak dari panpel Persibo Bojonegoro, yang tetap bisa menggelar laga melawan Semen Padang di Bantul.

Terakhir, saya terus terang kagum dengan sikap sejumlah Bonek yang sempat saya wawancarai kemarin. Mereka menyatakan, sesuai aturan, Persebaya seharusnya dikalahkan WO 0-3 dan poin 3 diberikan kepada PSMS Medan karena kegagalan menggelar pertandingan.

Bagi saya ini seperti anomali positif di dunia sepakbola Indonesia yang mendewa-dewakan kemenangan, bahkan dengan segala cara. Bonek seperti ingin memberikan pelajaran kepada Persebaya dan PSSI: kemenangan memang penting, namun tidak dengan melanggar aturan.

Sikap Bonek ini, saya kira, bukannya tanpa dasar. Sebagaimana pernyataan beberapa Bonek kepada saya, mereka ingin memberikan pelajaran kepada panpel Persebaya untuk lebih profesional. Kedua, mereka memahami betul bagaimana rasanya 'dianiaya' oleh urusan kemenangan WO. Tahun 2009 silam, Persebaya batal memperoleh kemenangan WO dari Persik yang gagal menggelar laga di Kediri. Bahkan, laga berkali-kali harus diulang dan dibatalkan, kendati kompetisi Liga Super sudah berakhir.

Ini juga mengingatkan, bagaimana suporter Surabaya juga melawan keputusan manajemen Persebaya yang mengalah kepada Persipura di Gelora 10 Nopember, dalam laga kompetisi Divisi Utama 1988. Saat itu, suporter memilih tak datang ke stadion. Kritisisme suporter terhadap manajemen klub itu agaknya diwariskan hingga saat ini.

Jadi saya kira, kegagalan Persebaya menggelar laga melawan PSMS Medan memang patut disesali. Namun, itu tak perlu membuat kita meratap, karena ada banyak hal yang bisa diambil untuk direfleksikan di dalamnya. [wir]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar