Minggu, 03 Oktober 2010

Era Taruhan Persebaya



 
Minggu, 03 Oktober 2010 14:48:21 WIB
Reporter : Ainur Rohim

Reformasi itu sedang menggelinding di Persebaya. Klub kebanggaan warga Kota Surabaya berevolusi manajemen. Dari klub plat merah (milik pemerintah) menjadi klub plat hitam (milik swasta). Tapi, brand dan home base harus tetap berada di Surabaya, siapa pun nanti pemiliknya.

Adalah pengusaha minyak dan gas (Migas) nasional, Arifin Panigoro (AP), yang bakal mengakuisisi Persebaya. Dia memiliki 70% saham Persebaya. Sebesar 20% saham lainnya berada di tangan klub-klub anggota Persebaya dan 10% lainnya dimiliki Saleh Ismail Mukadar, Ketua Umum Persebaya sekarang.

Persebaya sedang bertransformasi dari klub plat merah menjadi klub plat hitam. Ketergantungan pada APBD Pemkot Surabaya hendak dipotong. Sebagai klub profesional, mau tak mau, ketergantungan pada kucuran dana APBD ke depan mesti dipotong. Memang tak ada salah dan dosa bila Persebaya memperoleh kucuran APBD. Tapi, bukan hal jelek dan berdosa apabila Persebaya di bawah sokongan dana pihak swasta.

Apakah Persebaya benar-benar memasuki era baru? Era sebagai klub profesional. Era sebagai klub yang didanai kalangan swasta yang tak bergantung kepada kucuran dana publik. Era di mana pertimbangan teknis-olahraga menjadi kerangka acuan utama, bukan pertimbangan nonteknis-politis. Era di mana perburuan prestasi tim ini menjadi taruhan bagi manajemen pengelolanya.

Persebaya dan Kota Surabaya merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan. Pelepasan sebagian besar saham Persebaya ke AP dan Kelompok Usaha Medco harus disertai dengan ikatan yuridis dan komitmen: bahwa klub ini tak akan berganti nama dan bergeser home base-nya ke daerah lainnya. Jangan sampai nasib Persebaya seperti Mitra Surabaya yang sekarang berpindah ke Kutai Kertanegara di Kaltim. Atau pun Pelita Jaya Jakarta yang sekarang berhome base di Purwakarta Jabar.

Persebaya adalah klub besar dengan nama dan reputasi besar pula. Kompetisi sepakbola nasional (baik LSI maupun Divisi Utama) tanpa Persebaya terasa hambar. Persebaya, Persib Bandung, PSM Makassar, Persipura Jayapura, Persija Jakarta, PSIS Semarang, PSMS Medan, dan Arema Malang adalah klub-klub yang memiliki ghirah dan historical kuat di mata pendukung fanatiknya maupun kompetisi sepakbola nasional. Kompetisi sepakbola nasional tanpa Persebaya dan sejumlah klub di atas terasa seperti makanan tanpa garam. Aura kompetisi sepakbola nasional itu terasa kurang greget.

Kini, Persebaya menjelang memasuki era baru. Era di mana cengkraman dan campur tangan Pemkot Surabaya makin mengecil. AP dan Kelompok Usaha Medco yang bakal mengelola manajemen tim ini, terlepas apakah Persebaya nanti berlaga di Divisi Utama PSSI atau Liga Primer Indonesia (LPI).

Harapan kita bersama, tim Persebaya makin baik performance-nya setelah dirundung gonjang-ganjing internal dan eksternal cukup keras. Kita tahu bahwa kepemimpinan Saleh Ismail Mukadar di Persebaya menjadi 'oposisi' kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin Halid. Saleh terkena sanksi 3 tahun oleh PSSI akibat sepakterjangnya yang kritis atas kebijakan PSSI. Tapi, posisi Saleh Mukadar tetap eksist dan mampu survive, kendati goyangan atas kepemimpinannya di Persebaya tak kunjung berhenti. Yang terakhir Saleh Mukadar didemo sebagian pendukung Persebaya, yang tak menginginkan Persebaya menjadi klub plat hitam (dimiliki swasta).

Terlepas siapa pun pemilik dan pengelola Persebaya, yang mendesak dilakukan tim ini adalah mengukir prestasi bagus. Kendati mewujudkan target itu bukan hal mudah. Apalagi, kompetisi sepakbola nasional ditengarai kental dengan hal-hal nonteknis dan sulit dipahami dengan nalar rasional.

Misalnya, laga terakhir Persebaya versus Persik Kediri di ajang LSI tahun lalu, sampai ditunda 3 kali. Pertama, pertandingan bakal dihelat di Stadion Brawijaya Kediri ternyata batal. Lalu lokasi pertandingan dipindahkan ke Stadion Mandala Krida Yogyakarta dengan hasil akhir batal pula. Akhirnya, laga dihelat di Stadion Jakabaring Palembang, Sumsel. Tim Persebaya tak datang dan dinyatakan kalah WO. Padahal, saat batal laga di Yogyakarta harusnya Persebaya mengantongi kemenangan WO. Ya inilah kompetisi sepakbola nasional kita. Kadangkala ada keputusan yang tak bisa dipahami dengan akal sehat.

Ataukah tim ini bakal menghadapi perpecahan menghadapi iklim persepakbolaan nasional yang kurang kondusif? Kita lihat saja nanti. Memang, di internal Persebaya sendiri ada kubu yang masih menghendaki tim ini berplat merah. Tetap jadi milik pemerintah sepenuhnya dan memperoleh kucuran dana APBD setiap tahun.

Di sisi lain, semangat menjadi Persebaya mandiri, bebas dan tak terus-menerus bergantung pada APBD Pemkot Surabaya juga tak kecil. Itu sebetulnya telah dirintis ketika Persebaya di era akhir kepemimpinan Arif Afandi tahun 2008 lalu. Dulu yang bernego dengan Arif Afandi untuk menjalin sinergi dengan Persebaya adalah AP dan Kelompok Medco. Demikian pula saat ini. Apakah yang sekarang bakal berhasil atau menemui kegagalan seperti di waktu lalu?

Semuanya tergantung pada stakehoders Persebaya sendiri. Sebab, terlalu banyak tangan yang berkepentingan dengan perkembangan Persebaya ke depan, baik yang berasal dari kalangan internal maupun eksternal Persebaya. Bagi pihak internal dan eksternal terlalu sayang kalau sampai Persebaya mati suri akibat konflik internal di antara pengurusnya. Kompetisi sepakbola nasional tanpa Persebaya ibarat makanan tanpa garam: terasa hambar dan tak lezat sama sekali.

Karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah langkah penyelamatan bersama pada tim ini. Semua stakeholders Persebaya mesti membangun semangat ukhuwah. Kalau tidak, maka sangat mudah bagi kekuatan eksternal untuk mengintervensi dan mengobok-obok rumah tangga Persebaya. Jika demikian kondisinya, Persebaya memang tetap ada, tapi kondisinya sakit-sakitan. [air]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar