Senin, 29 November 2010

"Mantra" Hooliganisasi Bonek?

 
 
 

 
 
 
 
 

Oleh : Supadiyanto | 25-Jan-2010, 13:28:31 WIB

KabarIndonesia - Sepak bola memang permaianan yang membikin kita ketagihan. Dengan bola juga, bisa menyatupadukan para pemaniak si kulit bundar. Bagi penggila bola, bahkan sepak bola menjadi semacam  ideologi. Atau ritual beragama yang mesti dan wajib dilakukan, tak boleh ketinggalan.

Eropa, adalah benua yang paling gembul kompetisi bolanya. Ia menjadi kiblat persepakbolaan dunia. Dari sana jugalah terlahir pesepakbola gaek, yang sempat merajai berbagai helatan akbar persepakbolaan dunia. Negara-negara yang menjadi langganan utama dalam hal memiliki pemain-pemain ampuh-ampuh seperti Italia, Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman dll. Hampir tak ada negara di Eropa yang tak memiliki cukup stok pemain bola yang andal.

Orang-orang yang keranjingan menonton bola, pasti tak bisa tidak kenal legenda bola seperti Franz Beckenbauer, Sir Bobby Robson, Lorenzo Buffon, Fabio Capello, Frank Rijkaard, Marco Van Basten, Ruud Gullit, Walter Novellino, Carlo Ancelotti, Giovanni Trapattoni, Cesare Maldini, Roberto Donadoni, Cesare Maldini, Gunnar Nordahl dan masih sangat banyak lagi.

Inggris, salah satunya, ia punya industri persepakbolaan yang boleh dikata menggegerkan jagat perbolaan. Di samping negara tersebut memiliki striker, pemain sayap, bek dan kiper serta libero yang punya skil menggolkan bola sangat tinggi, negeri tersebut punyai pendukung sepakbola yang kompaknya luar biasa. Yah, Inggris punya Hooligan.

Suporter-suporter yang siap membela hidup-mati kesebelasan Inggris, sehingga sampai rela menyerahkan keselamatan jiwa mereka demi mewujudkan keunggulan kesebelasan Inggris. Hooligan, tidak takut mati. Apalagi kalau hanya untuk meladeni tawuran. Mereka sudah memiliki lembaga training yang membekali para Hooligan keterampilan bersilat.

Bersilat dalam arti yang sesungguhnya adalah seni bela diri  dan bukan dalam arti sebenarnya, bersilat lidah. Pandai memainkan keterampilan berolah bicara atau beretorika. Ingat Hooligan, kita jadi teringat pula dengan perilaku para Bonek. Bondho Nekat, Julukan yang diperuntukkan bagi para suporter fanatik kesebelasan Persebaya, Surabaya--dalam beberapa hari lalu menjadi bahan cemoohan banyak pihak. Surabaya miliki Bonek. Bandung punya Bobotoh. Kota lainnya juga masing-masing mempunyai wadah para suporter, lengkap dengan karakternya masing-masing.

Aksi nekat yang kerap dilakukan para Hooligan, juga persis acap dilakukan oleh para Bonek. Seperti apa yang mereka lakukan beberapa waktu lalu di Solo, dengan melempari rumah, toko dan kerumunan massa dengan batu. Imbasnya, sejumlah orang luka-luka, akibat tertimpuk batu sekepalan tangan pada badannya. Sejumlah bangunan juga rusak. Tak lama berselang dari kejadian itu, giliran para Bonek itu yang ketiban sial.

Di sejumlah kota, ketika kereta pengangkut para Bonek yang melaju dari Bandung menuju Surabaya, dihujani dengan batu-batu oleh massa di sejumlah daerah, termasuk di Yogya. Ya benjut juga kepala para Bonek tersebut tertimpali bebatuan. Aksi balas dendam tersebut, persis seperti drama kanak-kanak. Habis dijotos oleh rekan sebaya, ganti hari ia ganti yang meninju muka penjotos itu.

Bonek, sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar dalam membesarkan masa depan persepakbolaan di Tanah Air. Mental keberanian mereka, kesoliditasan, kekompakan dan kejantanan mereka dalam mendukung kesebelasan elit tercinta mereka; menunjukkan keunggulan yang bisa menjadi potensi bagus. Tak ada wadah suporter sepakbola di Tanah Air yang sekritis Bonek.

Aksi anarkis yang diperagakan oleh para Bonek itu, sesungguhnya merupakan sikap kritis mereka terhadap rasa keadilan publik. Kalau para Bonek bikin ulah ketika pertandingan sepakbola masih berlangsung, itu bukan tanpa dalih. Mereka menilai telah terjadi ketakadilan dalam adu bola tersebut. Sikap wasit yang tak adil, riskan memicu temperamental para Bonek untuk melancarkan aksi nakal mereka.

Hinaan terhadap martabat para Bonek, juga merupakan perkara fundamental yang mudah memicu tensi darah para Bonek. Kalau kemudian para Bonek itu merusak fasilitas stadion, rumah-rumah, toko, gardu jaga Poltas dan apa-apa yang dilalui oleh para Bonek, itu bukan wujud sebuah tindakan anarkis semata.

Namun memiliki nilai pesan yang mendalam dalam mata pandang para Bonek. Ketahuilah, jika para Bonek itu menghancurkan fasilitas publik, bukan pertanda bahwa Bonek itu sadis, anarkis dan suka bikin teror. Pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh para Bonek melalui serangkaian-serangkaian perusakan itu adalah sebagai ungkapan protes atas letupan-letupan emosional kolektif terhadap pelayanan pemerintah terhadap rakyat.

Bonek merusak stadion dan marka-marka jalan dll, itu lebih menunjukkan pada publik bahwa mereka merusak simbol-simbol yang merepresentasikan sebagai negara dan atau pemerintahan. Orang Surabaya, memiliki kekhasan cara mengungkapkan emosi dan kelakukan yang sangat berbeda dengan warga yang bukan dari Surabaya. Mental orang Surabaya itu amat egaliter. Mengatakan apa adanya.

Keegaliteran arek-arek Suroboyo itu kental sekali melalui kosakata-kosakata yang terungkap dalam bahasa komunikasi seharian. Tata bahasa khas Jawa Timuran, tepatnya Suroboyoan itu bertali pusar pada kelugasan bahasa, menghilangkan anasir-anasir yang kerap rancu seperti apa yang muncul dalam dialektika bahasa Jawa yang multitafsir. Tersekak dan tersekat oleh batasan-batasan etika, unggah-ungguh, tata kerama; sehingga pola bahasa yang dikembangkan memiliki jenis dan petunjuk penggunaan yang berbeda-beda untuk berbicara kepada siapa dan membicarakan apa, pada waktu kapan dan lain sebagainya.
Surabaya adalah tempat nenek moyang peradaban di Jawa. Ia jantung pertahanan ipoleksosbudhankamnas. Surabaya adalah makrokosmis bagi Indonesia.  Orang-orang Surabaya memiliki garis keturunan dari nenek dan kakek moyang tetua kerajaan Jenggala, Kediri, Singosari, Majapahit dan lain-lain.

Para Bonek adalah orang-orang yang mengantongi kesadaran genetis para manusia terhormat yang pernah menjadi sesepuh bagi Nusantara. Dalam benak dan jiwa para Bonek itu tersemat semangat tanding, mental petempur dan mental ksatria yang siap mengorbankan jiwanya demi menjaga martabat kemanusiaan. Bukan demi mencari gengsi, atau sensasi sosial, sensasi asosial lainnya.
Para Bonek adalah begawan-begawan yang punya spirit Layang Kumitir dan Naya Genggong, dua tokoh spiritual yang menjadi jelmaan bagi bangkitnya kesadaran manusia menuju puncak pencerahan. Bonek, adalah kekayaan kultural yang mesti dijaga martabatnya, bukan untuk dilecehkan hanya demi mengejar gengsi kekuasaan dan aneka pamrih primordialistik.

Persebaya adalah pasukan perang yang menjadi tempat beradu strategi dalam mengelola sejuta potensi warga Surabaya menuju keunggulan intelektual, kedewasaan cara berfikir dan kematangan rohani. Bonek dan Persebaya adalah dua senjata sosial yang semestinya bisa mengangkat harkat dan martabat Surabaya sebagai ibukota perjuangan di negeri ini.

Oknum-oknum Bonek yang mengkhianati ikrar kesetiannya terhadap "nusa bangsanya" Persebaya, perlu digilas habis, agar citra Bonek yang jantan, kstatria, kritis, kompak, tangguh dapat moncer. Atau sebaliknya, jika "pemerintahan" Persebaya yang mengkhianati janji seia-sekatanya Bonek, maka Persebaya perlu dipancung sosial, demi melahirkan kesadaran baru dalam menatap masa depan persepakbolaan di Tanah Air.

Kembalikan kejayaan para Bonek dan Persebaya. Hidup Bonek, Merdeka Persebaya! Terus hidup mengukir berprestasi atau pilih mati sekalian menanggung cacat martabat. Caruk saja!   (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar