Senin, 24 Januari 2011

Suporter...Ohh...Suporter, Sampai Kapan Begini?



 
Senin, 24 Januari 2011 14:36:34 WIB
Reporter : Kuntoro Rido Astomo

Surabaya (beritajatim.com) - Di tengah kampanye perbaikan sepakbola nasional menuju ke arah yang lebih baik dan profesional, kasus tewasnya dua warga yang ditengarai adalah salah diantara suporter Persela Lamongan alias LA Mania yang diduga menjadi korban penganiayaan sekelompok oknum Bonek di Lamongan, sungguh mengiris hati.

Lebih tragis lagi, saat itu baik Persela maupun Persebaya tidak bertemu dalam satu pertandingan dalam satu kompetisi. Belum diketahui siapa yang bertanggungjawab atas kejadian ini. Maklum saja, setiap ada peristiwa bentrok, hampir semua koordinator suporter selalu terkesan lepas tangan dengan mengatasnamakan oknum yang dianggap menunggangi kelompok-kelompok tersebut.

Sebab dalam kurun beberapa tahun terakhir, aksi kekerasan yang melibatkan kelompok suporter di Jatim kerap terjadi. Tentu saja, peristiwa tersebut dipicu aksi balas dendam dengan kebencian yang mendalam akibat sejarah masa lalu.

Sebut saja sekelompok Bonek yang saling lempar dengan warga di Solo dan sekelompok Aremania dengan warga Kediri, serta beberapa peristiwa lainnya yang menyebabkan kerusuhan, baik dengan warga maupun dengan kelompok suporter lain. Lantas, apa harus seperti ini terus?

Ada pemandangan yang indah ketika tim nasional bertanding di ajang Piala AFF 2010 lalu. Saat itu, di tengah hiruk pikuknya Firman Utina dkk menggapai asa, dukungan luar biasa benar-benar ditunjukkan suporter Indonesia.

Sejarah kelam Bonek-Aremania, Bonek-LA Mania, Bonek-The Jak, Bonek-Pasopati, The Jak-Viking, dan lainnya, seakan melebur menjadi satu kesatuan. Sungguh luar biasa indahnya.

Kelompok suporter itu yang biasanya seperti 'Kucing dan Anjing' saat bertemu, dalam pertandingan final Piala AFF 2010 di Stadion Utama Gelora Bung Karno seakan menjadi ajang islah. Bahkan, di Stadion Utama Bung Karno, mereka bisa saling menyapa dan duduk bersama. Inilah pemandangan indah cita-cita semua yang seharusnya bisa dijaga.

Tapi nyatanya tidak, perselisihan antara suporter masih terus terjadi hingga kini. Ada yang bilang, perdamaian suporter yang kerap didengungkan, hanya bisa diterima oleh petinggi-petinggi di jajaran koordinator. Sebab di lapisan bawah, sangat sulit mengurai kebencian dan dendam yang sepertinya sudah mengulit ari.

Apalagi, sampai saat ini belum ada kelompok suporter yang resmi terafiliasi dengan klub yang dibelanya sehingga sangat susah mendeteksi apakah benar oknum-oknum tersebut adalah suporter murni atau hanya sekelompok pemuda biang keonaran yang beratribut suporter.

Sebab, kita bisa paham jika suporter sepakbola datang dari berbagai kalangan. Ada kalangan intelektual, kalangan menengah dan kalangan bawah (bukan dari sisi ekonomi, red) yang mungkin tingkat intelektualnya sangat kurang.

Suporter intelektual, biasanya akan menghindari aksi-aksi kekerasan meski dirinya kurang sepaham, kecewa atau bahkan tersakiti. Mereka lebih memilih jalur yang lebih elegan untuk mencurahkan emosinya karena lebih banyak berpikir jauh ke depan, bukan sesaat.

Sedangkan suporter dari kalangan menengah, bisa dibilang fifty-fifty dari sikap suporter intelektual. Sementara suporter dari kalangan bawah, yang biasanya lebih banyak dihuni para remaja dan ABG, inilah yang sulit dibendung.
Karena biasanya, sikap suporter dari kalangan ini justru kebalikan dari suporter yang memiliki tingkat intelektual tinggi. Mereka hampir tidak pernah berpikir jauh ke depan. Termasuk apakah yang dilakukannya merugikan orang lain, klub atau bahkan dirinya sendiri.

Nah, maka dari itu peran koordinator suporter sangat vital dalam memberikan edukasi bagi anggotanya, begitu juga klub. Terutama bagi kalangan suporter dari lapisan bawah yang mudah terprovokasi. Sebab jika tidak, akan semakin banyak orang-orang yang tidak tahu apa-apa turut menjadi korban.

Tidak itu saja, jika masih kerap terjadi aksi anarkis dari suporter, jangan harap bisa mendukung tim kesayangan apalagi menikmati sepakbola di negeri ini. Karena sudah pasti, pihak kepolisian yang memegang wewenang tunggal atas ijin keramaian, tidak akan mengeluarkan rekomendasi.

Lalu kenapa edukasi? Karena mungkin hanya edukasi yang bisa membuka mata hati semua suporter bahwa jika ingin dihargai dan dihormati, maka hormati dan hargailah orang lain. Tak perlu menunjuk siapa pun, tapi berubah dari diri sendiri adalah langkah awal yang sangat berarti.

Sebab setiap kerusuhan yang terjadi, hampir semuanya terpicu akibat kurang santunnya kelompok-kelompok tersebut saat berada di luar stadion, baik santun kepada suporter tuan rumah dan warga setempat atau warga di setiap lokasi yang dilalui.

Apalagi jika sudah mendengar laporan suporter 'A' bikin onar hingga tindakan kriminal seperti perampasan, penjambretan, pemukulan, dan sebagainya hanya untuk menyambung bekal saat mendukung tim kesayangannya di kandang lawan.
Tentu saja, hal itu akan menyebabkan amarah bagi pendukung tuan rumah hingga muncullah aksi balas dendam.

Belum lagi, aksi provokasi juga masih kerap terjadi melalui nyanyian-nyanyian bernada ejekan kepada tim lawan. Sebab jika nyanyian itu bertujuan untuk menjatuhkan mental pemain lawan, jujur saja, langkah itu kemungkinan kecil berhasil dan sia-sia. Ingat, pemain lawan juga profesional yang punya kiat mengatasi tekanan.

Namun, memberi edukasi santun bukan berarti mengurangi militansi, fanatisme dan loyalitas para suporter. Sebab, dalam hal ini edukasi santun adalah bagaimana menjaga citra dan nama baik klub sebagai satu kebanggaan.

Perlu ditekankan, sebuah kelompok suporter yang produktif, adalah suporter yang tidak pernah merugikan klub, baik secara materi maupun pencitraan.

Kalau sudah begitu, tak perlu lagi khawatir akan kekurangan bekal jika harus turut mendampingi tim kesayangan saat bermain kandang. Karena, siapa pun pasti akan bersimpati dan empati dengan sikap yang ditunjukkan.

Bahkan jika selama ini masyarakat kebanyakan takut saat naik angkutan umum atau kereta bersama kelompok suporter, kali ini justru akan lebih aman. Nah, inilah yang terpenting.

Memang, menciptakan perdamaian bukan hal mudah. Perang Dunia II saja baru berakhir setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom Atom. Itu artinya, perdamaian juga membutuhkan pengorbanan, yaitu jiwa yang besar, keangkuhan dan bisa menerima keadaan. Semoga kasus di Lamongan adalah yang pertama dan terakhir. Amin! [kun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar