Selasa, 24 Mei 2011

sebuah catatan dari BONEK tentang kongres PSSI


Surabaya, 22 Mei 2011

Hari itu, saya mencermati sebuah kongres sebuah federasi di Pekanbaru. Sebuah kongres dari sebuah federasi yang sangat sangat korup dan banyak unsur politis bernama PSSI. Sejak awal, saya memang tak respek dengan adanya kongres ini. Dari mulai sosok ketum yang ngeyel, pemilihan tempat yang seakan takut oleh adanya "kelompok reformis", timbulnya fitnah, pelanggaran aturan pasal Statuta, hingga bekingan dari salah satu orang top dari sebuah parpol. Namun ketika itu saya menyikapi biasa saja hingga menjelang siang hari, waktu kongres dimulai.


Entah kenapa, kongres yang seharusnya berjalan aman, tertib, dan damai itu dirusak oleh suatu skenario. Sebuah skenario yang memang sengaja dibuat untuk melanggengkan kekuasaan kubu Nurdin Halid cs. Dugaan adanya praktek suap di salah satu kamar hotel menjadi pemicunya. Dan apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar nalar kita sebagai insan sepakbola Indonesia. Muncullah orang-orang berjumlah 78 orang, yang hari ini kita kenal sebagai Kelompok 78 atau K78, yang menginginkan adanya perubahan di tubuh PSSI. Bahkan waktu itu, saking paranoidnya kubu Nurdin cs, maka ke-78 orang itu harus rela berteriak-teriak di luar hotel karena hak mereka dicabut.


Puncaknya, kongres ricuh. K78 yang haknya diambil oleh kubu Statusquo, masuk ke dalam hotel untuk menuntut kebenaran yang mereka bawa, agar pasal statuta PSSI diubah sehingga Nurdin tidak menyalonkan diri lagi. Untuk diketahui, K78 memperjuangkan hak mereka untuk mengubah statuta PSSI, yang menyatakan bahwa "... seseorang dapat menjadi Ketua Umum PSSI apabila tidak terkait tentang hukum pidana pada saat berlangsungnya kongres ..." yang sama sekali berbeda dari statuta FIFA, yang menghendaki bahwa seorang narapidana ataupun mantan narapidana memimpin sebuah federasi sepakbola.


Pro kontra bermunculan. Media-media milik statusquo, dengan enteng menyebar berita bahwa orang-orang militer adalah penyebab kekacauan di kongres PSSI di Pekanbaru. Bahkan ada yang benar-benar memelintir berita, yang mengatakan bahwa Nurdin tetap bisa maju sebagai calon Ketua Umum PSSI. Sementara media-media netral lain, menanggapi ini dengan beragam.


Jujur, saya menyikapi ini dengan dua hal. Pertama, uang yang ada di PSSI terlalu besar sehingga statusquo ingin lama-lama berkuasa. Kedua, ada indikasi dan tujuan tertentu dari seseorang atau golongan untuk merebut kursi kepemimpinan RI di tahun 2014 dengan cara menduduki PSSI terlebih dahulu.


Kemarin, Jumat (21/5), terjadi kembali sebuah Kongres PSSI. Namun dengan wayang yang berbeda. Agum Gumelar, yang dipercaya FIFA sebagai Ketua Komite Normalisasi, menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Kongres PSSI. Ada juga perwakilan FIFA, Thierry Regenass dan juga perwakilan dari AFC, yang datang sebagai observer.


Entah kenapa Kongres yang semestinya selalu menuruti apa yang diinginkan peserta kongres asalkan sesuai aturan yang berlaku itu, malah coba dilanggar sendiri oleh Agum Gumelar, sang tokoh utama dalam cerita ini. Apa yang menjadi pokok pembicaraan untuk mencapai sebuah kebenaran, selalu dialihkan. Ini malah menyebabkan pamor dan kharisma seorang Agum Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi sekaligus sebagai ketua sidang merosot drastis. Tampaknya ada sebuah skenario besar di balik ini semua. Akan saya coba jelaskan satu per satu.


Pertama, saya menyesalkan sikap dari komplotan statusquo (ini sama artinya dengan kata 'Gerombolan 78' ala Cocomeo News) yang tidak mau legowo untuk menyerahkan kursi-kursi yang mereka duduki di PSSI ke orang lain. Bukti yang ada sudah di depan mata. Kita lihat calon ketua umum PSSI, belakangan ini semakin tercium aroma statusquo. Achsanul Qosasih, Agusman Effendy, dan lain-lain adalah antek setia era Nurdin Halid. Pun demikian dengan anggota Exco. Mayoritas suara yang didapat lebih besar untuk komplotan statusquo macam Iwan Budianto, Yosep Erwiyantoro, dan lain-lain.


Yang membuat saya penasaran, bagaimana seorang Agum, yang purnawirawan jenderal, bisa seakan disetir oleh suatu golongan tertentu? Tapi bukan itu yang terpenting. Justru yang semakin membuat saya penasaran dengan apa yang ada di belakang Agum adalah alasan Agum untuk mengganti 5 anggota KN dengan alasan terlibat oleh LPI, namun pada kenyataannya LPI, pada surat FIFA, harus dirangkul oleh KN. Berarti sudah jelas bahwa dengan cara-cara bagaimanapun, komplotan statusquo masih berniat dan masih mencari cara untuk tetap ada di tubuh PSSI.


Kedua, penolakan kandidat Arifin Panigoro dan George Toisutta jelas tak bisa dijadikan alasan untuk tak bisa bersaing di panggung bursa Ketua Umum PSSI. Kalu berkaca pada Statuta FIFA, tidak pernah ada ceritanya seseorang yang "menciptakan" liga breakaway, ditolak untuk menjadi calon ketua umum sebuah federasi, di manapun itu berada. Justru jika kita melihat pada negara-negara yang pernah menciptakan liga breakaway seperti Australia, Inggris, dan Jepang, FIFA akan menyoroti kinerja federasinya. Apa yang salah dengan federasi tersebut, sehingga menimbulkan rasa tidak puas oleh anggotanya dan membentuk liga breakaway. Namun kenapa tidak terjadi di Indonesia? Justru seorang Nurdin Halid pun terkesan dilindungi FIFA walaupun saat itu jelas-jelas melanggar Statuta FIFA dengan memimpin PSSI dari balik jeruji besi.


Untuk George Toisutta, saya kira jenderal yang satu ini tidak bisa termasuk dalam orang yang berkecimpung dalam liga breakaway (LPI). Padahal, nama George Toisutta baru mencuat ke permukaan selama 4-5 bulan terakhir ini. Tidak pernah ada ceritanya GT mengurusi LPI. Namun, pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat FIFA sekelas Thierry Regenass itu saya rasa cukup menimbulkan suatu tanda tanya besar. Bukan tanpa alasan Regenass melontarkan pernyataan seperti itu. Bahkan yang bisa membuat saya tersenyum adalah, Regenass yang notabene adalah pejabat teras di FIFA, yang seharusnya cukup hafal tentang pasal-pasal Statuta FIFA dan Electoral Code FIFA pun tidak bisa memberikan jawaban tentang statuta mana dan electoral code bagian mana yang dilanggar oleh pasangan AP-GT. Dan Regenass hanya berkeringat sambil garuk-garuk kepala. Dalam hal ini, K78 yang benar.


Kongres di ballroom Hotel Sultan yang ricuh kemarin pun, tampaknya sudah merupakan sebuah skenario dari salah satu pihak yang terkesan legowo, tetapi sesungguhnya dia menjadi dalang dari berbagai kejadian baru-baru ini. Agum Gumelar, Djoko Driyono, bahkan Thierry Regenass adalah wayangnya. Sangat di luar nalar jika mantan pimpinan Kopassus seperti Agum menghentikan kongres secara sepihak dengan alasan yang konyol : tidak kuat lagi menghadapi peserta kongres yang menuntut haknya dipenuhi. Sangat di luar nalar apabila Thierry Regenass tidak bisa menjelaskan pasal statuta mana yang dilanggar oleh pasangan Arifin Panigoro dan George Toisutta.


Skenario selanjutnya, ini yang perlu kita waspadai. Komplotan statusquo yang didalangi oleh sebuah partai besar, kali ini mulai menggiring opini publik lewat media-media yang dimilikinya untuk memusuhi K78 yang berniat menghilangkan segala kekotoran yang ada dalam tubuh PSSI. K78 yang semula berniat untuk merevolusi PSSI seperti yang didengungkan banyak pihak, dan mencegah agar akar-akar dari komplotan Nurdin tidak kembali merajai PSSI, kini malah diputarbalikkan faktanya menjadi sebuah kelompok yang perusak, sok reformis, dan terkesan perusuh serta pemecah belah sepakbola nasional. Penggiringan opini publik ini tampaknya akan menuju ke sebuah keberhasilan di mana saat ini banyak tokoh mulai simpatik ke salah satu televisi yang dimiliki salah satu orang yang mencalonkan diri maju ke Pilpres 2014. Dalam waktu tidak sampai setengah tahun, masyarakat kini mulai diajak untuk memusuhi K78, menjadikannya sebagai public enemy, memusuhi Arifin Panigoro dan George Toisutta yang pernah jadi orang yang membuka pintu masuk kepada kita untuk merevolusi PSSI dengan dalih tidak legowo, terlalu ambisius, dan lain-lain.


Sungguh terlalu. Di saat banyak orang tertidur, terbuai dalam mimpi-mimpi rezim Nurdin Halid, orang yang berusaha mendobrak tradisi buruk era Nurdin sekarang justru dimusuhi oleh masyarakat luas dan dijadikan sebagai musuh bersama seperti seorang teroris, dan selalu dikaitkan dengan yang namanya sanksi. Ya, sanksi. Sebuah pernyataan tanpa data yang asal njeplak. Mengapa saya katakan seperti itu? Sebab, tuduhan sanksi itu bagi saya sama sekali tidak mendasar karena tidak ada sama sekali pasal Statuta FIFA maupun Electoral Code FIFA yang dilanggar Indonesia.


Sebenarnya, masalah sanksi itu masalah lobi saja. Di tahun 2007, sewaktu Nurdin Halid menjabat dari balik jeruji besi, seharusnya Indonesia terkena sanksi. Tetapi karena lobi-lobi yang kuat dari antek-antek Nurdin, terutama Komplotan Statusquo, sanksi itu tidak terjadi. Bahkan kemarin sewaktu Pemerintah melalui Menegporaa ikut mengintervensi PSSI, seharusnya juga kan kita kena sanksi. Tapi nyatanya? Nol.


Skenario penggiringan opini publik inilah yang mengkhawatirkan adanya revolusi di sepakbola nasional. Kita tahu bersama, saat ini, media-media milik Komplotan Statusquo sedang gencar-gencarnya menghancurkan K78 dan selalu menebar teror dengan adanya sanksi FIFA. Padahal, jika toh memang kita disanksi FIFA, maka gugatan CAS (Komite Arbitrase Olahraga) akan masuk, menggugat FIFA sebesar 500 juta Euro per hari. Tentunya juga FIFA tidak bodoh sembarangan memberi sanksi untuk Indonesia karena benar-benar tak ada aturan yang dilanggar. Bahkan FIFA sendiri yang melanggar aturan tersebut dengan menolak pencalonan AP-GT tanpa dasar.


Jadi ingat sosok Gus Dur. Ketika saat-saat terakhir beliau menjadi presiden sebelum akhirnya lengser, banyak sekali penggiringan opini publik semacam ini sehingga rakyat pun tidak simpatik lagi, hingga akhirnya rakyat sadar pada akhir hayat Gus Dur.


Tentunya kita semua berharap, konflik dan skenario ini cepat ada jalan keluarnya. Namun, bagi saya, lebih baik kita menunggu. Wait and see dengan apa yang terjadi ke depan. Saya yakin, jika K78 tetap membela yang benar dengan aturan yang benar, revolusi PSSI akan terjadi, sehingga tidak ada lagi rakyat Indonesia yang melongo di depan televisi untuk menonton negara lain berlaga di Piala Dunia. Tidak ada lagi yang berteriak-teriak karena gajinya belum terpenuhi, dan tidak ada lagi yang harus berlarian di lapangan becek dan penuh lumpur hanya untuk mengejar kemenangan. Ya, semoga ! [vec]


Vecga
Kabar Bonek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar