Kamis, 14 Oktober 2010

Pencopet-pencopet Bola

Reporter : Kuntoro Rido Astomo

     
Sejak klub-klub perserikatan dilebur menjadi satu dengan klub-klub Galatama di ajang kompetisi Liga Indonesia pada tahun 1993 lalu menjadi profesional, semua orang sepakat jika langkah tersebut adalah upaya kreatif untuk menjadikan timnas dan sepakbola Indonesia berprestasi lebih baik.

Tapi dalam perkembangannya, semua pasti juga sepakat. Tidak ada perkembangan signifikan dari segi prestasi sepakbola Indonesia. Yang ada, dari perkembangan terkini, ranking sepakbola Indonesia terus menurun.

Ditambah lagi, hampir rata-rata semua klub peserta Liga Indonesia yang bersumber dana dari APBD daerah setempat, selalu merugi bahkan menjadi ladang korupsi. Lalu siapa yang untung? Bukankan ini sepakbola profesional yang seharusnya berorientasi profit?

Dalam sebuah diskusi ala warung kopi yang saya ikuti dengan bersama beberapa teman mengungkapkan, sebenarnya cukup mudah untuk merubah sistem sepakbola nasional kita untuk kembali sehat dan berprestasi.

Salah satunya adalah kesadaran stake holder masing-masing klub untuk menghentikan penggunaan anggaran APBD untuk sepakbola profesional atau menyerahkan sepenuhnya ke pihak swasta.

Cuma yang menjadi pertanyaan, apakah mereka rela? Terutama bagi para 'pencopet-pencopet' yang masih mendukung anggaran APBD untuk sepakbola profesional di negeri ini.

Sebab, tanpa anggaran APBD, saku para 'pencopet' ini tidak akan lagi terisi. Maklum, jika klub sudah menjadi milik swasta, transparansi penggunaan anggaran sudah pasti akan terpublikasi sebagai bentuk pertanggungjawaban. Salah satu misalnya adalah nilai kontrak pemain.

Karena, dari segi keuntungan dan kerugian, semuanya akan tercatat dengan baik oleh tim financial independen pengelola Liga profesional layaknya yang dimiliki badan pengelola liga-liga profesional dunia yang tidak dimiliki Indonesia.

Artinya, sebuah klub bisa dikatakan pailit dan harus mundur dari kompetisi profesional oleh tim financial tersebut jika keuntungan yang diraih tidak seimbang dengan kerugian yang ada (Seharusnya semua klub ISL mundur dari kompetisi karena memiliki finasial yang tidak sehat alias pailit).

Nah, dari sebuah diskusi tersebut terbesit tanya. Kenapa gerakan revolusi sepakbola nasional dengan munculnya Liga Premier Indonesia (LPI) kurang mendapat respon dari klub-klub papan atas yang notabene mengaku sebagai klub profesional? Selain itu, kenapa juga PSSI tidak mendukung konsep LPI yang mungkin menurut saya sebagai langkah menuju ke sepakbola industri?

Ini kompleksnya, begitu banyak 'pencopet' dalam sepakbola nasional ini. 'Pencopet'? Ya, oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari segi finansial klub terkait kucuran dana APBD. Istilahnya, mau makan apa para 'pencopet' itu jika APBD untuk sepakbola profesional di-stop.

Memang, APBD sebenarnya tidak haram untuk sepakbola. Tapi bukan untuk profesional, melainkan sepakbola amatir atau pembinaan dengan porsi yang sesuai.
Sementara modus yang dilakukan para 'pencopet' itu juga cukup beragam di tubuh sepakbola nasional. Yang paling kentara adalah proses perekrutan pemain asing. Ladang ini dianggap cukup basah bagi kalangan 'pencopet-pencopet' itu. Apalagi, nilai kontrak pemain, tidak pernah disebutkan secara jelas dengan berbagai alasan klise baik oleh klub maupun agen pemain. Akibatnya, pemain dengan harga mentereng tidak menjamin kualitasnya juga cukup mentereng. Apalagi, persaingan antar agen pemain juga sarat permainan.

Salah seorang teman yang pernah membantu sebuah agency pemain asing, sebut saja Bejo, mengatakan cukup sulit menyalurkan pemain, khususnya pemain asing ke sebuah klub jika tanpa dibumbui pemotongan fee nilai kontrak kepada oknum-oknum internal klub. "Prosedurnya, dari nilai kontrak itu 10 sampai 20 persen memang untuk oknum itu sebagai jaminan pemain dari kita dikontrak," kata Bejo.

Nah, karena itu juga, menurut Bejo, pemilik agency pemain kemudian mematok harga tinggi setiap pemainnya meski kualitasnya tidak seberapa. "Itu untuk menutupi fee yang telah dipotong tadi. Tapi seandainya tidak dipotong, mungkin nilai kontraknya pasti tidak seberapa," ujarnya.

Hanya saja, Bejo menjelaskan tidak semua klub memberlakukan seperti demikian meski sebagian 'pencopet' itu ada. Nah, inilah tugas kita bersama untuk memberantas 'pencopet-pencopet' itu musnah dari sepakbola nasional.

Berat memang, sebab ditambahkan Bejo, koneksi para 'pencopet' itu tidak hanya saja terbatas di lingkungan internal klub, tapi juga diduga melibatkan lingkungan yang lebih tinggi yakni dalam hal ini PSSI. "Kan pengesahan pemain asing juga harus lewat PSSI," katanya.

Penjelasan Bejo tersebut sebenarnya adalah salah satu contoh bobroknya sistem sepakbola nasional. Tapi sayang, dari forum diskusi yang saya lakukan dengan sejumlah kawan tersebut menyebutkan, tidak mudah melakukan revolusi tanpa gerakan konkrit dan serentak dari semua stake holder atau pemilik hak suara di Munas PSSI.

Sebab, untuk mengawali gerakan itu membutuhkan konsekuensi berat. Seperti yang dilakukan Ketua Umum Persebaya, Saleh Mukadar saat mengumandangkan perombakan di tubuh PSSI menjelang Kongres Sepakbola Nasional di Malang lalu.

Bukannya mendapat dukungan, tapi justru kini Saleh dan Persebaya 'dibinasakan'. Inilah jahatnya koneksi busuk di Indonesia yang sudah mengakar. Sebab, pernyataan frontal yang diungkapkan Saleh dan Persebaya itu menyangkut 'isi perut' seseorang. Akibatnya, Saleh dimusuhi dan Persebaya dikerjai melalui laga tanding super lucu melawan Persik Kediri meski kompetisi udah berlalu.

Intinya, semua tidak ingin seperti Persebaya alias ingin 'save'. Sebab saya berani taruhan, hampir semua klub pernah menjadi saksi bobroknya sistem sepakbola nasional. Entah sebagai pelaku, korban, atau saksi mata secara langsung praktek-praktek 'nakal' dalam sepakbola Indonesia.

Jadi, kalau semua sepakat ingin memajukan sepakbola Indonesia, kenapa harus takut dan munafik? Sebab jika masih munafik, itu artinya sama saja memelihara 'pencopet-pencopet' yang menggerogoti hati pecinta sepakbola Indonesia. [kun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar