Senin, 29 November 2010

Bonek : Sebuah Cerita tentang Kecintaan, Loyalitas, dan Carut – Marut Sepakbola Indonesia



Opera Sabun Sepakbola Indonesia
Indonesia memang negara yang unik, salah satunya soal olahraga olah kulit bundar ini. Euforia sepakbola yang begitu kental tergambar sepanjang wilayah negeri ini. Semua orang tahu sepakbola merupakan olahraga yang paling populer di Indonesia. Popularitasnya mengalahkan bulutangkis yang beberapa kali mampu mempersembahkan emas olimpiade.
Selain unik, aura sepakbola di Indonesia juga bisa dibilang aneh. Di satu sisi negeri ini disebut sebagai surga bagi penggemar sepakbola. Sepanjang tahun penonton dimanjakan oleh tayangan sepakbola dari berbagai penjuru dunia. Tidak hanya perhelatan besar macam Piala Dunia atau Piala Eropa, bahkan Liga–liga Eropa ditayangkan berbulan–bulan hingga tuntas.
Lebih keren lagi, sebagian besar tayangan sepakbola bisa dinikmati secara cuma–cuma. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat pemirsa harus merogoh kocek untuk menyaksikan idolanya mengolah bola.
Segala kenikmatan menikmati tayangan papan atas seketika akan menjadi ironi jika melihat perkembangan sepakbola dalam negeri. Prestasi sepakbola Indonesia memang jauh dari membanggakan. Boro – boro berbicara di dunia, di level asia tenggara pun kita makin jauh ketinggalan dari rival-rival semacam Thailand, Singapura, maupun Vietnam. Terakhir, tim Sea Games kalah dari Laos, negara kecil yang biasanya bisa dikalahkan pasukan garuda dengan mudah.
Liga Indonesia pun setali tiga uang, carut marut meski kelihatannya gemerlap. Indonesia memiliki kompetisi besar, mulai liga super yang merupakan kasta tertinggi, divisi utama kebawah, hingga kompetisi amatir. Belum lagi liga usia muda dan juga kompetisi–kompetisi tarkam. Hanya saja pengelolaan liga masih payah, masalah hadir silih berganti. Dari isu penggunaan uang rakyat berupa APBD untuk pembiayaan klub, pengelolaan kompetisi yang belum profesional, hingga perkelahian antar suporter. Soal keruwetan sepakbola nasional lebih populer ketimbang prestasi klub.
Begitulah euforia olahraga terpopuler di dunia ini di negeri kita, unik bin aneh. Di satu sisi seperti surga, di sisi lain menghadirkan ironi. Terlepas dari keanehan itu sepakbola Indonesia selalu menghadirkan cerita yang tak pernah habis. Banyak fenomena unik yang cukup menarik untuk dilihat. Setelah ini kita akan melihat fenomena mengenai suporter dengan mengambil contoh salah satu kelompok suporter paling populer di Indonesia. Satu kelompok pendukung yang sangat militan loyal namun tukang bikin onar, yaitu bonek mania.

Kisah sang aktor antagonis
Kalau sepakbola itu sebuah racikan makanan maka boleh jadi suporter merupakan bumbu utamanya. Sepakbola tanpa suporter bagaikan sayur tanpa garam, terasa hambar.  Sorak – sorai pendukung sebuah tim bukan hanya punya peran meramaikan stadion, tetapi juga memberi energi tambahan bagi para pemain. Sehingga suporter sering diibaratkan sebagai pemain ke-12 dalam permainan.
Bicara sepakbola Indonesia tidak lengkap rasanya bila tidak mengungkap fenomena suporter sepakbola. Hampir setiap kota di negeri ini memiliki klub sepakbola maka bisa dibayangkan betapa banyak dan beragamnya kelompok suporter sepakbola Indonesia.
Dari sekian banyak cerita dari suporter Indonesia, ada salah satu kelompok suporter yang selalu menarik perhatian. Adalah bonek, sebutan untuk kelompok pendukung klub Persebaya Surabaya. Boleh dibilang bonek adalah kelompok suporter yang paling dikenal di negeri ini.
Hanya saja bonek lebih banyak dikenal bukan karena aksi simpatiknya mendukung Persebaya, tetapi justru karena rivalitas yang berujung kerusuhan. Bukan rahasia lagi bahwa mereka adalah kelompok suporter yang sering bikin onar. Beberapa aksi bonek ini menciptakan kerusuhan bukan hanya di kandang sendiri tetapi juga di berbagai lokasi lain.
Sejarah mencatat bahwa beberapa kali bonek menciptakan kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi berakar dari rivalitas bonek dengan kelompok – kelompok suporter lain. Hampir setiap kerusuhan yang terjadi saat persebaya bermain melawan rival–rivalnya di helatan liga Indonesia.
Seteru abadi Bonek dan Persebaya berasal dari tim sedaerah yaitu Arema Malang. Beberapa kali Bonek bersitegang dengan Aremania, sebutan kelompok suporter pendukung Arema Malang. Salah satu peristiwa kekacauan yang disebabkan Bonek antara lain kerusuhan pada pertandingan Copa Dji Sam SoePersebaya Surabaya melawan Arema Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya. Bonek menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion. Selain itu para pendukung Persebaya ini juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion. Mobil stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI Angkatan Laut, sebuah ambulansmobil umum habis dihanguskan oleh keberingasan para bondo nekat. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. antara dan sebuah
Aremania bukanlah satu – satunya ‘musuh’ bonekmania. Mereka juga berseberangan dengan The Jak, Suporter Persija Jakarta. Pertandingan antara Persija dan Persebaya selalu menghadirkan tensi tinggi dari pendukungnya. Sering muncul upaya saling umpat hingga tak jarang muncul kericuhan. Pada babak 8 besar Ligina tahun 2005, menjelang pertandingan melawan Persija, Persebaya mundur dan bonek mania diminta pulang ke Surabaya karena mendapat tekanan dan ancaman pembunuhan. Gara –gara aksi tersebut Persebaya harus rela dihukum terdegradasi ke divisi 1.
Permusuhan lain yang cukup mengerikan terjadi antara Bonek dan Pasoepati, kelompok pendukung Persis Solo. Agustus 2006 bonek bikin onar saat final divisi I di Kediri, pendukung tim Bajul Ijo ini memasuki lapangan dan bentrok dengan suporter tim kebanggaan masyarakat Surakarta. Gara – gara ulah tersebut bonek dijatuhi sanksi lima kali tidak boleh mendampingi timnya saat pertandingan away.
Ketegangan tidak berakhir di situ, tanggal 23 Januari 2010, sekitar 400 bonek yang berangkat dari Surabaya menuju Bandung untuk menyaksikan pertandingan antara Persebaya melawan Persib. Saat melewati Solo terlibat bentrokan dengan warga dengan saling melempar batu. Selain itu rombongan bonek mania juga melakukan penjarahan terhadap pedagang di stasiun, pemukulan terhadap wartawan Antara dan anggota Brimob, perusakan stasiun Purwosari Solo dan stasiun lainnya, perusakan rumah warga, serta tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya. Saat perjalanan pulang dari Bandung bonek mendapat serangan balasan dari beberapa warga Solo.
Hingga saat ini bonek tak berhenti mencuri perhatian masyarakat. Di satu sisi mereka masih terus menebar teror. Namun tidak sedikit yang kagum atas militansi para pendukung Persebaya ini. Selanjutnya, kita akan mengenal bonek lebih dekat, melihat pertaliannya dengan Persebaya, serta membacanya dari akar budayanya.

Bonek, Sebuah Representasi Budaya Arek
Bonek bukanlah nama resmi kelompok pendukung Persebaya Surabaya. Kelompok resmi pendukung kesebelasan kesayangan arek Suroboyo ini bernama Yayasan Suporter Surabaya (YSS). Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos tahun 1988 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar.
Istilah Bonek adalah sebuah akronim bahasa Jawa dari Bondho Nekat yang berarti modal nekat. Azrul Ananda, wakil direktur Jawa Pos dalam tayangan tatap muka di TV One pernah menjelaskan bahwa nama bonek dipilih untuk menggambarkan militansi pendukung tim bajul ijo dalam mendukung timnya. Apapun dikorbankan demi menonton pertandingan Persebaya. Saat itu 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya versus Persija. Bonek adalah kelompok suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away suporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang ke kota lain) seperti di Eropa.
Tradisi mendukung Persebaya tersebut terus dijaga sampai kini. Selama masih mungkin dijangkau kemanapun Persebaya bertanding tandang maka selalu ada bonek yang mendukung. Meski sudah dilarang oleh PSSI mendukung pertandingan away Persebaya, bonek tetap saja hadir walaupun harus melepas atributnya. Saat bertanding di kandang pun Bonek hampir selalu memenuhi dan menghijaukan stadion gelora 10 November. Bisa dibilang ada Persebaya ada bonek, keduanya merupakan dua hal yang sulit dipisahkan.
Perilaku bonek seperti dua sisi mata uang, di satu sisi tindakan perusakannya sungguh mengerikan, namun di sisi lain mereka loyal, total, dan militan mendukung Persebaya. Bila ditarik ke belakang, sifat–sifat bonek ini merupakan representasi sebuah subkultur yang disebut arek. Perilaku bonek sebenarnya warisan turun-temurun yang berlangsung cukup lama.
Subkultur arek berkembang pada masyarakat yang hidup wilayah pinggiran sungai Brantas yang membentang dari Kediri sampai Surabaya. Cakupan wilayahnya membentang dari pesisir utara di Surabaya hingga ke daerah pedalaman selatan, daerah  Malang.
Wilayah kehidupan masyarakat subkultur arek tergolong paling pesat perkembangan ekonominya, pusat aktivitas ekonomi Jatim ada di sini. Layaknya wilayah ibukota, surabaya memang menjadi jujugan bagi masyarakat dari berbagai daerah. Maka banyak migrasi berarus menuju wilayah ini untuk berbagai keperluan, baik ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Dengan banyak bersentuhan dengan pendatang dari bermacam latar budaya, mereka membentuk budaya yang khas, yang disebut budaya komunitas Arek. Mereka mempunyai semangat juang tinggi, solidaritas kuat, dan terbuka terhadap perubahan.
Arek sebagai salah satu kekayaan kultur Jawa Timur memiliki karakteristik yang keras khas pesisir. Karakter keras tersebut pun diterjemahkan sebagai sikap pantang menyerah, ngeyel, dan keteguhan mempertahankan pendapat serta prinsip sebagai wujud penghargaan tertinggi mereka terhadap harga diri.
Karakter ngeyel, semangat juang tinggi, serta solidaritas yang kuat terwujud dalam loyalitas bonek mania mendukung Persebaya. Meski berdana minim bonek mania tetap mau berangkat mendukung tim kesayangannya. Bahkan ada yang dengan hanya modal kenekatannya mau berbondongbondong memberi energi dan semangat bagi punggawa tim bajul ijo.
Sungguh disayangkan ketika karakter keras bonek ini kemudian berkembang menjadi anarkis. Keberanian berbicara lantang justru meruncingkan permusuhan dengan rival–rivalnya. Kerasnya perilaku mereka sering menimbulkan kerusuhan yang sungguh merugikan semua pihak. Solidaritas kuat diantara mereka bisa bernilai buruk saat sikap tersebut seakan menjadi pembenaran untuk membalas perlakuan kelompok suporter lain.
Oleh karena itu penting untuk menengok kembali ke belakang, menengok kiprah suporter Persebaya ini dahulu. Bondo nekat diterjemahkan sebagai kerelaan berkorban demi mendukung persebaya secara positif. Jiwa arek berwujud semangat positif dan antusiasme tanpa anarkisme merupakan ciri yang menonjol pada bonek jaman dahulu.
Tahun 1988, untuk berangkat ke jakarta banyak orang menggadaikan motornya, menjual perhiasan istrinya, atau peralatan rumah tangga yang lain demi mendapatkan uang. Bagi yang punya uang mereka rela membeli tiket bis, kereta api, bahkan pesawat. Namun bagi yang kantongnya pas – pasan mereka rela “menggandol” truk sambil mengamen dari Surabaya sampai Jakarta. Semua dilakukan demi menghijaukan Senayan mendukung Persebaya.

Sepakbola, cermin kehidupan masyarakat

Bonek mungkin sudah menggoreskan banyak cerita dalam catatan sepakbola Indonesia. Namun perilaku anarkis itu merupakan fenomena gunung es dimana bonek hadir sebagai puncaknya. Persoalan sepakbola Indonesia bukan hanya soal bonek melawan aremania. Masih banyak keruwetan-keruwetan yang mungkin tidak diungkap menjadi apa yang diketahui umum.
Banyak orang bilang akar permasalahan sepakbola nasional ialah soal pengelolaan. Selama ini sepakbola kita memang belum dikelola dengan baik, masih berantakan di sana–sini, bahkan cenderung tidak adil. Gaung profesionalitas liga Indonesia nyatanya baru sebatas euforia saja. permainan keras menjurus kasar, konspirasi wasit, serta keputusan–keputusan yang tidak adil menyatu menghasilkan carut marut sepakbola nasional. Hasilnya, silahkan lihat prestasi tim nasional yang semakin menyedihkan.
Sepakbola menjadi wahana yang pas dan tepat untuk melihat dinamika yang terjadi di dunia ini. Dengan melihat sepakbola kita akan tahu apa yang ada di dunia ini. Pelatih fenomenal Jose Mourinho pernah mengatakan The negative side of football, the negative side of our society. Dalam konteks sepakbola Indonesia, gambaran kekacauan sepakbola nasional bisa menjadi potret kehidupan masyarakat yang penuh persaingan, ketidakadilan, bahkan kecurangan.


Gilang Gusti Aji menggilai sepakbola semenjak kecil. Sejak SD ia sudah membiasakan diri mengikuti perkembangan sepakbola nasional maupun Internasional. ibarat ungkapan Makin tua makin gila, penggemar AC Milan ini semakin menggilai olahraga terpopuler di dunia ini. Ia tidak hanya mengikuti perkembangan sepakbola, tetapi juga sering bermain bersama kawan – kawannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar